10 April 2012

- -

Dunia Dilanda Krisis Pangan Diiringi Krisis Air dan Energi

Iklim di Wilayah utara negara bagian Gujarat, India barat cenderung semi-kering dan rentan terhadap kekeringan. Padahal daerah tersebut selama musim hujan antara Juni dan September rutin diguyur hujan alami. Namun, dalam tiga dekade terakhir, banyak lahan tanaman serta peternakan susu tetap hijau walau saat musim kemarau.



Itu karena para petani di sana banyak yang berinvestasi untuk sumur dan pompa air. Umumnya mereka memakai listrik dalam jumlah besar untuk mengambil air dari akuifer (wilayah bawah tanah yang berisi air) dalam. Pemerintah memang menyokong tumbuhnya sektor pertanian melalui subsidi listrik dan harga.

Akan tetapi, ketika kian banyak air diangkat ke permukaan, pemompaan tidak mungkin tanpa dampak negatif bagi lingkungan. Kabarnya lapisan air tanah telah menipis secara drastis, sampai harus menembus hingga 600 meter ke bawah di beberapa tempat, selain jgua membutuhkan pompa lebih kuat untuk membawa air ke permukaan. Konsumsi berlebihan atas jaringan listrik ini tentu menghambat pasokan listrik bagi industri atau penduduk lainnya.

Untungnya, contoh pengurasan air tanah besar-besaran dari utara Gujarat itu terdata dengan baik, walau hal itu adalah contoh buruk tentang pengembang sektor pertanian yang tidak berkelanjutan (bakal habis). Masalahnya masih banyak lokasi-lokasi parah lainnya di India, Cina, serta Timur Tengah di mana kebutuhan energi meningkat sejalan dengan eksploitasi sumber air dipompa untuk menghasilkan makanan. Para ahli telah memperingatkan bahwa pertanian di daerah-daerah tersebut berada dalam zona berbahaya mengingat hubungan tak berkelanjutan antara kebutuhan energi dan air tanah yang berlebihan.

Dampak kerusakan potensial lain tak hanya keringnya akuifer dan gagal panen di lahan pertanian dan peternakan, tetapi juga peningkatan salinitas tanah ditambah emisi karbon dioksida. Perubahan iklim turut memperparah situasi tersebut (atau mungkin pengrusakan inilah salah satu sebabnya). Petani miskin pasti berada dalam posisi sangat sulit karena mereka tak mampu berinvestasi di bidang teknologi yang mahal, hanya untuk mengebor sumur dan membeli pompa air besar bagi lahan yang tak seberapa besar.

Lalu, apakah ini salah petani? Tentu tak adil bila menyalahkan mereka. Bertani adalah mata pencarian mereka yang utama atau satu-satunya. Para ahli perlu mencari solusi menang-menang bagi petani maupun lingkungan. Kalau hanya demi preservasi lingkungan, para petani bisa kehilangan pekerjaan, sedangkan masyarakat umum kelaparan. Jadi harus dua-duanya baik.

Sains untuk sebagian besar solusi sebetulnya sudah ada, tapi implementasinya bisa sangat sulit mengingat kaitan yang erat antara sektor energi dan air, di samping perlu kerja sama berbagai departemen pemerintahan. Dilemanya, permintaan sumber daya pangan terus meningkat. Produksi pertanian harus meningkat sekitar 70 persen pada 2050, energi primer sebesar 50 persen pada 2035 (data FAO).

Di Cina, penggunaan air tanah untuk mengairi tanaman tumbuh lebih dari sepuluh kali lipat sejak 1950, menurut penelitian yang dirilis Maret lalu oleh University of East Anglia (Inggris). Para peneliti memerkirakan bahwa pemompaan air dari kedalaman rata-rata 230 kaki (70 meter) di sejumlah tempat menyisakan lebih dari 30 juta ton buangan karbon dioksida setahun, setara dengan jumlah yang dipancarkan seluruh Selandia Baru tiap tahun.

Di India, pengguna air tanah terbesar di dunia, konsumsi listrik pertanian meningkat lebih dari 25 kali lipat antara 1970 dan 2009, menurut angka pemerintah setempat.

Di Indonesia sih tidak tahu deh. Tapi mengingat seringnya kita mendengar berita bahwa pemerintah mengimpor sejumlah bahan pangan, bisa diasumsikan kita juga mengalami hal yang sama, minimal beti (beda tipis).

Terus gimana? Sebagai masyarakat awam kita mungkin bisa mengambil peran. Misalnya, jangan membeli sawah produktif kalau akan dikonversi jadi perumahan. Lebih parah lagi kalau lahan pangan jadi lapangan golf atau ruko atau mal. Mungkin masih banyak hal lain yang bisa kita perbuat. Entahlah.

Hasil baca NGC
Beranda - Tentang Berita Pilihan - Kebijakan Privasi - Kontak